Setidaknya terdapat tiga bahasa daerah yang dominan dipakai di masyarakat serta ada muatan kurikulumnya yaitu bahasa Sunda, Jawa, dan Bali. Di sisi lain, pentingnya program revitalisasi bahasa juga semakin memacu keinginan orang mempelajari bahasa daerah, karena metodenya memiliki 3 tipe berbeda disesuaikan dengan kebutuhan.
Untuk tipe a, bahasa tersebut merupakan bahasa dominan yang dipakai di masyarakat dan dijadikan muatan lokal tapi hanya di wilayah tertentu karena tidak bisa digunakan di daerah lain. Sementara tipe b adalah revitalisasi di sekolah dan masyarakat, biasanya yang menggunakanan penggiat komunitas.
Lalu tipe c, kebanyakan bahasa yang ada di wilayah timur Indonesia seperti Kalimantan, NTT, dan Maluku yang paling banyak bahasa daerahnya. “Tipe c pembelajaran hanya di masyarakat, balai desa dan kelurahan, gereja, masjid, maupun sanggar,” katanya lagi.
Menurut Amin, lantaran mengadopsi model yang berbeda untuk revitalisasi bahasa daerah, pihak UNESCO sempat merasa kaget, bahwa Indonesia dengan bahasa paling kompleks bisa menerapkan model tersebut. Dirinya yang mewakili Indonesia, bahkan diminta berbicara di UNESCO mengenai metode tersebut untuk berbagi dengan bangsa lainnya di dunia dalam pelestarian bahasa ibu.
Lebih jauh, Amin mengatakan bahwa keluarga merupakan garda pertama dan terakhir yang menjadi pewarisan bahasa daerah. “Kalau punya kepedulian maka itu jadi kabar baik yang akan menjadi titik cerah mempertahankan bahasa daerah,” kata Amin.
Sementara itu, pentingnya merawat bahasa daerah diungkapkan oleh Ennitan Octavia, seorang perantau di Jakarta yang merupakan orang Batak asli Toba-Samosir. “Kalau di orang Batak istilahnya nggak tahu bahasa Batak dibilang dalle, ibaratnya dia orang batak tapi tidak tahu silsilah keluarga dari kampung mana dan biasanya di tanah rantau itu disebut dalle,” ungkap Enni saat wawancara telepon dengan Liputan6.com, Jumat, 16 Februari 2024.
Menurutnya, masyarakat Batak yang sangat menjaga budayanya mudah teridentifikasi dari penggunaan nama marga. “Kalau ketemu orang batak biasanya langsung berbahasa batak,” sambungnya sambil menambahkan saat di kampungnya, otomatis orang Batak akan berkomunikasi dengan bahasanya.
Penggunaan bahasa Indonesia bahkan untuk formal seperti kepada guru dan saat ada di kampungnya orang yang berbahasa Indonesia biasanya akan langsung dianggap “kekotaan”. Di rumah, ia dan suami karena berasal dari suku yang sama, selalu berbicara dengan bahasa ibu mereka. Tujuannya pun agar anaknya yang masih balita, kelak setidaknya sudah terbiasa mendengarkan bahasa Batak.
Pentingnya pelestarian bahasa daerah di lingkup keluarga juga dirasakan oleh Nur Faiza. Sebagai perantau di Jakarta, ia menggunakan bahasa daerah karena nenek buyutnya serta sang ibu sudah terbiasa berkomunikasi dengan bahasa Madura dan Jawa.
Faiza mengaku sejak kecil terbiasa berbahasa Madura dengan ibunya yang orang asli Kalimantan tapi lama bermigrasi ke Jember yang kebanyakan ditinggali oleh penduduk dari suku Madura. “Nenek buyut agak sulit berbahasa Indonesia, mamanya suami juga pakai bahasa Sunda di rumah,” kata Faiza sambil mengungkap alasan penggunaan bahasa daerah di rumah agar di antara anggota keluarga tetap bisa berkomunikasi lebih baik.
Saat dewasa dan pindah bekerja di Jakarta, logat Jawanya pun medok. Tapi ia sama sekali tidak merasa terasing karena sering jadi bahan ledekan. Kebiasaan di keluarganya itu juga memudahkannya berkomunikasi saat pulang kampung, ia jadi bisa tahu percakapan orang sekitarnya dan tak kesulitan bergaul.
kenapa bahasa osing milik suku osing tidak diakui… sehinggga saya mendirikan lembaga pemerhati bahasa osing sejak 2014.
sejak keluarnya pergub jatim no.19 th.2014
Perjuangan itu membutuhkan waktu dan kesabaran. Karena dalam setiap jengkal yang kita perjuangkan pasti ada Pelajaran dan Hikmah yang baru kita temui pada saat Perjuangan. Bisa jadi, ada sesuatu hal baru yang terselip dan terlupakan selama ini, baru kita ketahui di tengah-tengah Perjuangan dilakukan. Tetap semangat dan jangan perang lelah untuk berjuang. Bravo Kawan
anehnya… bahasa Osing yang ada di jawatimur kabupaten banyuwangi kok tdk diakui…
padahal suku osing memiliki bahasa,adat, budaya dan tradisi beda dgn suku jawa.
maka sejak 2014 saya mendirikan lembaga pemerhati bahasa osing. dan sudah berbadan hukum
Tidak ada yang aneh dalam kehidupan ini. Semua pasti ada Pro Kontra. Apapun itu, untuk mendapatkan sebuah pengakuan tentu saja akan dilakukan sebuah penelitian, pendalaman dan kajian. Jika hal tersebut dinyatakan bisa bermanfaat bagi kemaslahatan banyak orang, khususnya untuk Bahasa Osing ini bisa memberikan Peningkatan bagi Dunia Pendidikan, pasti akan mendapatkan Nilai Plus. Sehingga Pengakuan tersebut sekanjutnya akab dilakukan Pengesahan. Sebenarnya, Kalau menurut Saya sebagai Orang Banyuwangi, lebih baik Perjuangan untuk Bahasa Osing ini tujuannnya agar Generasi Muda Warga Osing Banyuwangi tidak sampai melupakan Bahasa Ibunya ini. Salam Kang/ Roelly