ICN Banyuwangi JATIM – Peribahasa “Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Lari-lari” mungkin sangat tepat jika dianalogikan dengan perilaku “KORUPSI” yang terjadi di Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur (Jatim). Dan hal tersebut juga sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia (RI), Dr, Sanitiar Burhanuddin, SH, MM, dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, di kanal YouTube Kompas.TV, Kamis (07/11/2024).
Jaksa Agung, ST Burhanuddin menegaskan, “Seorang Pimpinan di daerah atau di manapun Seorang Pimpinan Unit Kerja, kalau pimpinannya bersih, yakinlah anak buah kalian akan takut melakukan perbuatan tercela,” Ujar Jaksa Agung.
“Tapi kalau Pimpinan Unit Kerjanya Korupsi, di bawah adalah Rampok,” Tegas Jaksa Agung, ST Burhanuddin menambahkan.
Pernyataan Jaksa Agung tersebut mendapatkan Apresiasi dari seluruh Rakyat Indonesia. Apalagi, akhir-akhir ini, Jaksa Agung dan Timnya tidak pandang bulu dalam membongkar praktik “MALING UANG NEGARA”.
Yang terakhir, penangkapan Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan (Mendag) RI 2015-2016 terkait kasus “Korupsi Impor Gula” dan Prasetyo Boedi Tjahjono, mantan Dirjen KA Kemenhub dalam kasus Korupsi Pembangunan Jalan Kereta Api Besitang-Langsa.
Bahkan pada Tahun 2021 lalu, Jaksa Agung Burhanuddin pernah mewacanakan akan menerapkan “HUKUMAN MATI Bagi Koruptor”. Pernyataan tersebut sontak mengagetkan Masyarakat Indonesia dan sekaligus Bahagia, serta memberikan dukungan penuh terkait wacana penerapan hukuman tersebut. Karena perilaku Korupsi selain dianggap merugikan keuangan negara juga yang membuat kehidupan rakyats semakin menderita.
Pernyataan Jaksa Agung Burhanuddin juga mendapat dukungan dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), namun MAKI meminta rencana hukuman mati itu bukan kata-kata semata.
“Saya mendukung rencana Jaksa Agung yang akan menerapkan “Tuntutan Hukuman Mati” terhadap Pelaku Korupsi dan saya minta juga ini bukan hanya Lip Service atau kata-kata,” Tegas Koordinator MAKI, Boyamin Saiman kepada Wartawan, Senin (1/11/2021) lalu.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri juga memberikan dukungan atas wacana Jaksa Agung Burhanuddin. “Saya menyambut baik dengan adanya gagasan Jaksa Agung RI tentang rencana mengkaji Hukuman Mati kepada Pelaku Korupsi,” Ungkap Firli kepada Wartawan, Jumat (29/10/2021) saat itu.
Ketua KPK juga menegaskan, bahwa ancaman yang tercakup dalam Pasal 2 Ayat (2) dalam UU 31 Tahun 1999, sebagaimana yang diubah dalam UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu diperluas dan harus ada “Efek Jera Lebih” bagi para Koruptor. Menurut Firli, perlu diperluas tidak hanya Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Tipikor.
Dalam UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tepatnya pada Pasal 2 ayat 2. aturan Hukum di Indonesia, ada peluang “Hukuman Mati bagi Koruptor”.
Pasal 2 tersebut mengatur hukuman bagi Koruptor, di mana Hukuman Mati menjadi salah satu opsinya. Dalam Pasal 2 UU disebutkan:
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan Penjara Seumur Hidup atau Pidana Penjara paling singkat 4 Tahun dan paling lama 20 Tahun dan Denda paling sedikit Rp. 200 Juta dan paling banyak Rp 1 Miliar.
(2) Dalam hal Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, Pidana Mati dapat dijatuhkan.
Pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin tersebut tentu saja menjadi pro kontra di brbagai kalangan, terutama bagi “GEROMBOLAN RAMPOK UANG RAKYAT”, niat Penerapan Hukuman Mati tersebut pasti akan ditentang keras dengan berbagai cara.
Sementara terkait kasus korupsi yang terjadi di Banyuwangi, Kejaksaan Negeri (Kejari) Banyuwangi mendapat berbagai kecaman dari berbagai Elemen Masyarakat, karena dinilai tidak serius menangani Kasus Korupsi di Banyuwangi, Jatim, yang menurut masyarakat di seluruh belahan dunia, Perilaku Korupsi tersebut selain merugikan keuangan negara juga mencederai rasa keadilan rakyat dan membuat kehidupan rakyat semakin menderita.
Meski sudah ditetapkan sebagai “TERSANGKA MALING UANG RAKYAT”, mantan Kepala Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Kabupaten Banyuwangi, H. NAFIUL HUDA, S.Sos., M.Si, yang diduga terlibat dalam “Kasus Fiktif Pengadaan Makanan Dan Minuman (Mamin) APBD Tahun Anggaran (TA) 2021” hingga kini masih bisa melenggang.
Yang membuat miris, Mohammad Rawi, SH, MH, Kajari Banyuwangi, setelah menetapkan NAFIUL HUDA sebagai Tersangka MALING UANG NEGARA, malah dimutasi. Dan yang lebih menyakitkan Hati Rakyat Banyuwangi, Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, istri mantan Bupati Banyuwangi, Azwar Anas, justru mengangkat “HUDA PERAMPOK UANG RAKYAT Banyuwangi” sebagai Staf Ahli. Apakah “Pelaku MALING UANG RAKYAT harus dilindungi?
***Integritas KAJARI Diuji***
Kejaksaan sebagai bagian dari Aparat Penegak Hukum (APH) merupakan Instrumen Pemerintah yang turut berperan aktif dalam mendukung Keberhasilan Program Pembangunan, baik Nasional maupun Daerah.
Program Pemberantasan Korupsi merupakan salah satu Upaya Prioritas yang saat ini tengah dilakukan oleh Korps Adhyaksa untuk mendukung Pemerintah Memajukan Indonesia secara keseluruhan. Oleh karenanya, Peran Hukum sebagai Sarana Pembaharuan Sosial sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2016, Tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.
Oleh karena itu, Kejari Banyuwangi diharapkan tidak main-main dalam membongkar dan menuntaskan Kasus yang telah menetapkan NAFIUL HUDA sebagai Tersangka. Karena banyak Pihak meyakini, Kasus Korupsi Mamin akan menjadi “Pintu Masuk APH” dalam mengungkap berbagai dugaan “Kasus Nyolong Uang Rakyat Banyuwangi yang lain”.
Selain kasus Mamin yang saat ini Viral, dugaan Penyelewengan Anggaran dan praktek-praktek Korupsi dengan berbagai Modus masih menghantui Birokrasi Banyuwangi.Seperti Jual Jabatan, Fee Proyek, Pengadaan Barang dan Jasa, Studi Banding, serta Perjalanan Dinas. Selain itu, Oknum Pejabat Korup seperti Nafiul Huda juga Bertebaran di SKPD Banyuwangi, namun belum Mencuat ke Permukaan.
Masyarakat berharap Kejari Banyuwangi tetap Istiqomah dalam membersihkan Korupsi di Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kabupaten Banyuwangi dan tidak ada Intervensi dari Pihak manapun.
Ketua Lembaga Pengawas Badan Investigasi (LPBI) Investigator, Choirul Hidayanto, yang ditemani Ketua IWB Abi Arbain, Aktivis Banyuwangi M. Yunus Wahyudi, mengungkapkan kekecewaannya terkait sikap Kejari Banyuwangi saat menerima Audiensi Massa yang menuntut Kepastian Hukum dalam kasus-kasus Korupsi di Banyuwangi.
Karena Kejari dinilai “Tidak Serius dalam Pemberantas Korupsi”, Ratusan Massaakhirnya menggelar Aksi Unjuk Rasa, 31 Oktober 2024, di depan kantor Kejari Banyuwangi meminta Kejari Banyuwangi segera melakukan Tindakan Tegas terhadap kasus Korupsi, yang melibatkan mantan Kepala BKPP, NAFIUL HUDA, yang telah menyandang status Tersangka Maling UangRakyat sejak 28 Oktober 2022, dan kasus Korupsi oleh mantan Kepala Desa Alian, ANTON SUDJARWO.
Akibat perbuatannya, Warga Desa Alian juga harus ikut merasakan dampaknya, karena Desa Alian tidak bisa mencairkan Anggaran Dana Desa (ADD) akibat dugaan perilaku mantan pimpinannya yang Hobby “NYOPET UANG” Rakyat.
Pertemuan yang hanya diterima oleh Jaksa Intelijen, bukan Jaksa yang menangani kasus Pidana Korupsi, menurut Choirul, hal tersebut menunjukkan kurangnya komitmen dari Kejari Banyuwangi untuk memberikan Kepastian Hukum.
Choirul juga menyatakan, bahwa Pihaknya telah mengirimkan Surat pada 12 dan 13 September 2024, meminta kejelasan atas perkembangan kasus NAFIUL HUDA, tetapi hingga kini belum menerima balasan tertulis maupun lisan.
Ketua LPBI Investigator tersebut mendesak Kejaksaan untuk mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada Publik dan Negara, serta meminta perhatian Jaksa Agung agar Penanganan Kasus Korupsi di Banyuwangi mesti dipantau dan diawasi secara ketat demi menjaga Marwah Lembaga Kejaksaan sebagai Aparat Penegak Hukum yang bertanggung jawab.
SementaraMuhammad Helmi Rosyadi, Ketua Aliansi Rakyat Miskin (ARM) dan Koordinator Gerakan Buruh & Rakyat Anti Korupsi (GEBRAK), dikenal sebagai Tokoh yang gigih menyuarakan “ANTI KORUPSI”, serta membela hak-hak “Warga Miskin” bersama Organisasi lainnya yang tergabung dalam Sekber Ormas, LSM, dan OKP Banyuwangi menyatakan *Mosi Tidak Percaya* terhadap Kejari Banyuwangi. Mereka menuduh bahwa Penegak Hukum tidak serius dalam memberantas Tindak Pidana Korupsi, yang justru semakin merajalela.
Bahkan Helmi secara simbolis menghamburkan Uang Jutaan Rupiah di area Kejari sebagai bentuk “Satire”, seolah-olah ingin menyampaikan Pesan, bahwa HUKUM di Banyuwangi bisa “DIBELI.” Kritik ini menunjukkan kekecewaan mendalam terhadap Penegakan Hukum yang dianggap tidak adil dan cenderung melindungi para Koruptor (MALING UANG RAKYAT).
Karena Kejari dianggap tidak serius dalam menangani kasus NAFIUL HUDA dan terkesan pasif, Aktivis Banyuwangi mendesak Kejaksaan Agung RI untuk mengambil alih kasus ini agar tidak terjadi Konflik Kepentingan.
Apakah orang-orang yang Hobbynya nyolongi UANG NEGARA ini patut dilindungi atau Dihukum Mati?
Selain kasus NAFIUL HUDA, Sekber juga mempertanyakan Proyek Pembangunan Fasilitas di Kejari Banyuwangi, termasuk Pagar, Interior, dan Gedung Serbaguna yang dibangun Tahun 2023. Sekber menduga Proyek ini memiliki kaitan dengan Pengabaian Kasus yang melibatkan Dana Publik.
Sekber juga menuntut Penyelidikan yang Transparan atas kasus-kasus Korupsi yang mengendap, seperti kasus Pelabuhan Jeti Grand Watudodol, dugaan Fiktif di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, serta kasus lama di PT. Pelayaran Banyuwangi Sejati. Publikasi ini mengajak Masyarakat untuk tetap Waspada dan Berani menyuarakan Kebenaran.
#PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM & HUKUMAN MATI BAGI KORUPTOR#
Kejahatan Korupsi yang kian merajalela di Banyuwangi menimbulkan dampak besar bagi Masyarakat, terutama Masyarakat Miskin yang seharusnya mendapat Akses ke Layanan Publik yang Layak.
Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diperbarui dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, PELAKU KORUPSI dapat dikenakan “HUKUMAN MATI” jika Tindakannya dilakukan dalam keadaan tertentu. Keadaan tertentu ini meliputi Kasus Korupsi yang dilakukan saat Negara sedang mengalami Krisis Ekonomi atau Bencana Nasional.
Undang-Undang tersebut juga menyatakan, bahwa siapa pun yang secara sengaja merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara dengan memanfaatkan Jabatan atau Kekuasaan, Mereka, termasuk yang disebutkan dalam Pasal 3, bahwa Penyalahgunaan Jabatan untuk memperkaya diri atau orang lain secara melawan Hukum, dapat dijatuhi Hukuman Penjara hingga Seumur Hidup atau paling sedikit 4 Tahun.
#Ketidakadilan Hukum Mempertajam Ketimpangan#
Tindakan Kejari Banyuwangi yang terkesan melindungi Pejabat yang diduga Korup, seperti NAFIUL HUDA (Orang yang punya HobbyNyolongi Uang Rakyat Banyuwangi), hanya Semakin Memperlebar Ketimpangan dalam Penegakan Hukum.
Fenomena ini menunjukkan Ketimpangan Serius dalam Sistem Hukum. Di mana Hukum tampak Tegas terhadap Rakyat kecil, namun Longgar terhadap Pelaku Korupsi berdana besar. Aktivis Sekber Ormas dan LSM mengingatkan, bahwa Supremasi Hukum harus ditegakkan dengan adil, tanpa memandang Status Sosial, Ekonomi, atau Kedekatan Politik.
Sekber Ormas, LSM, dan OKP yang turut terlibat dalam protes ini menuntut Aparat Penegak Hukum (APH) untuk memperkuat komitmen Mereka dalam upaya Pemberantasan Korupsi. Dengan menerapkan “Ancaman Hukuman Maksimal” sesuai dengan undang-undang, termasuk HUKUMAN MATI jika diperlukan. Tindakan ini diharapkan mampu menimbulkan Efek Jera bagi para Koruptor, sehingga kasus serupa tidak terulang di masa depan.
Dan yang perlu diketahui, menurut Pasal 15 UU No 31 Tahun1999 sebagaimana yang telah diubah dalam UU No 21 Tahun2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan, bahwa siapapun yang membantu Pelaku Tindak Pidana Korupsi akan dikenakan ancaman Pidana yang sama dengan Pelaku Korupsi.
Selain itu, Permufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi juga dapat dihukum penuh sama halnya dengan Pelaku Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 21/PUU-XIV/2016.
Jadi, orang yang turut serta dan yang membantu melakukan Korupsi, keduanya diancam dengan Pidana yang sama dengan orang yang melakukan Korupsi.
Mungkin ada benarnya jika pernyataan yang disampaikan Jaksa Agung RI, Dr, Sanitiar Burhanuddin, SH, MM, dikaitkan dengan “Korupsi di Banyuwangi”, bahwa jika Pemimpinnya Korupsi, yang di bawah pasti Rampok. Oleh karena itulah, apakah kasus Korupsi di Kabupaten Banyuwangi ini akan ditindaklanjuti atau malah melindungi para “Pelaku dan Pelindung Korupsi?”
Dan pesan untuk Jaksa Agung RI Burhanuddin, jika ingin menindak tegas Pelaku dan Pelindung Korupsi di Kabupaten Banyuwangi, jangan lupa, Rombongan dan Rombong-Rombongnya juga harus dilibas Habis.
(INDONESIAN CORRUPTION NEWS & MEDIA TIPIKOR INDONESIA)
#IndonesianCorruptionNews #MediaTipikorIndonesia
#PresidenPrabowoSubiyanto #WapresGibranRakabumingRaka #LaporMasWali
#JaksaAgungBurhanuddin #KejaksaanAgungRI
#TindakPidanaKorupsi #KoruptorDilindungi
#SupremasiHukum #HukumanMatiUntukKoruptor #KeadilanUntukRakyat**
#NoViralNoJustice #ViralorJustice