
ICN INDONESIA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. Sebanyak delapan orang diamankan dalam operasi ini, termasuk Kepala Dinas PUPR OKU dan tiga anggota DPRD. Mereka diduga terlibat dalam praktik suap terkait proyek infrastruktur.
KRONOLOGI OTT
Tim KPK mulai melakukan pemantauan sejak beberapa minggu sebelum operasi dilakukan. Informasi terkait dugaan suap ini diperoleh dari laporan masyarakat dan hasil penyelidikan awal. Pada hari operasi, tim KPK melakukan penggerebekan di beberapa lokasi, termasuk kantor pemerintahan dan rumah dinas pejabat terkait.
Pada pukul 21.00 WIB, tim KPK berhasil mengamankan sejumlah pejabat yang tengah melakukan pertemuan terkait pembagian fee proyek. Para tersangka kemudian dibawa ke Jakarta untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
KPK melancarkan operasi tangkap tangan di OKU pada Sabtu (15/3) lalu. Setelah melakukan penyelidikan dan pemeriksaan, KPK menetapkan 6 orang tersangka, termasuk pihak swasta. Berikut tersangkanya:
- Ferlan Juliansyah (FJ) selaku anggota Komisi III DPRD OKU
2. M Fahrudin (MFR) selaku Ketua Komisi III DPRD OKU
3. Umi Hartati (UH) selaku Ketua Komisi II DPRD OKU
4. Nopriansyah (NOP) selaku Kepala Dinas PUPR OKU
5. M Fauzi alias Pablo (MFZ) selaku swasta
6. Ahmad Sugeng Santoso (ASS) selaku swasta
Perkara itu dimulai saat pembahasan RAPBD OKU tahun anggaran 2025. Ada anggota DPRD OKU yang meminta jatah Pokok Pikiran (Pokir) Kepada Pemerintah Daerah.
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, dalam Konferensi Pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Minggu (16/03/25), mengatakan, “Pada pembahasan tersebut, perwakilan dari DPRD meminta jatah pokir, seperti yang diduga sudah dilakukan. Kemudian disepakati bahwa jatah pokir tersebut diubah menjadi proyek fisik di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan sebesar Rp. 40 Miliar.
Menurut Ketua KPK, bahwa proyek untuk Pokir Ketua dan Wakil Ketua DPRD senilai Rp. 5 Miliar. Sementara, nilai untuk Anggota DPRD Rp. 1 Miliar. Tetapi, nilai ini kemudian turun menjadi Rp. 3,5 Miliar.
Setyo menambahkan, nilai itu turun karena ada keterbatasan anggaran, namun fee proyek itu tetap disepakati 20 % bagi Anggota DPRD dan 2% bagi Dinas PUPR, sehingga Total Fee untuk Anggota DPRD OKU sebesar Rp. 7 Miliar.
Setyo mengatakan, Kepala Dinas PUPR OKU Nopriansyah menawarkan 9 proyek kepada Fauzi dan Ahmad selaku pihak swasta dengan Commitment Fee sebesar 2% untuk Dinas PUPR dan 20% untuk DPRD. Nopriansyah kemudian mengondisikan pihak swasta untuk mengerjakan proyek tersebut.
Tiga anggota DPRD OKU yakni Ferlan, Fahrudin, dan Umi menagih jatah proyek tersebut ke Nopriansyah jelang Idul Fitri 2025. Pada 13 Maret, Fauzi menyerahkan uang kepada Nopriansyah sebesar Rp. 2,2 Miliar.
Mencium adanya hal tersebut, KPK kemudian melakukan OTT pada Sabtu (15/03/2025). Keenam orang Tersangka tersebut terjaring oleh KPK dan dibawa ke Jakarta.
Atas perbuatannya, Ferlan, Fahrudin, Umi, dan Nopriansyah dijerat dengan Pasal 12 a atau 12 b dan 12 f dan 12 B UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Pasal 12 a dan b itu mengatur hukuman terkait suap, pasal 12 f mengatur soal pemotongan anggaran dan pasal 12 B tentang gratifikasi dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Sementara, Fauzi dan Ahmad dijerat pasal 5 ayat 1 a atau b UU Pemberantasan Tipikor juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Pasal itu mengatur soal hukuman bagi penyuap dengan ancaman penjara maksimal 5 tahun penjara.
KPK tidak berhenti menyelidiki kasus dugaan suap ini dengan 6 tersangka. KPK akan mendalami peran dari bupati atau wakil bupati OKU dalam perkara ini.